Senin, 12 Maret 2012




Asal Mula Kolam Sampuraga di Mandailing Natal


Alkisah, pada zaman dahulu kala di daerah Padang Bolak, hiduplah di sebuah gubuk reot seorang janda tua dengan seorang anak laki-lakinya yang bernama Sampuraga. Meskipun hidup miskin, mereka tetap saling menyayangi. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka setiap hari bekerja sebagai tenaga upahan di ladang milik orang lain. Keduanya sangat rajin bekerja dan jujur, sehingga banyak orang kaya yang suka kepada mereka.

Pada suatu siang, Sampuraga bersama majikannya beristirahat di bawah sebuah pohon yang rindang setelah bekerja sejak pagi. Sambil menikmati makan siang, mereka berbincang-bincang dalam suasana akrab. Seakan tidak ada jarak antara majikan dan buruh.

“Wahai, Sampuraga! Usiamu masih sangat muda. Kalau boleh saya menyarankan, sebaiknya kamu pergi ke sebuah negeri yang sangat subur dan peduduknya hidup makmur,” kata sang Majikan.

“Negeri manakah yang Tuan maksud?” tanya Sampuraga penasaran, “Negeri Mandailing namanya. Di sana, rata-rata penduduknya memiliki sawah dan ladang. Mereka juga sangat mudah mendapatkan uang dengan cara mendulang emas di sungai, karena tanah di sana memiliki kandungan emas,” jelas sang Majikan. Keterangan sang Majikan itu melambungkan impian Sampuraga.

“Sebenarnya, saya sudah lama bercita-cita ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Saya ingin membahagiakan ibu saya,” kata Sampuraga dengan sungguh-sungguh.

“Cita-citamu sangat mulia, Sampuraga! Kamu memang anak yang berbakti” puji sang Majikan. Sepulang dari bekerja di ladang majikannya, Sampuraga kemudian mengutarakan keinginannya tersebut kepada ibunya.

“Bu, Raga ingin pergi merantau untuk mencari pekerjaan yang lebih baik. Raga ingin mengubah nasib kita yang sudah lama menderita ini,” kata Sampuraga kepada ibunya. “Ke manakah engkau akan pergi merantau, anakku?”, tanya ibunya.

“Ke negeri Mandailing, bu. Pemilik ladang itu yang memberitahu Raga bahwa penduduk di sana hidup makmur dan sejahterta, karena tanahnya sangat subur,” jelas Sampuraga kepada ibunya.

“Pergilah, anakku! Meskipun ibu sangat khawatir kita tidak bisa bertemu lagi, karena usia ibu sudah semakin tua, tapi ibu tidak memiliki alasan untuk melarangmu pergi. Ibu minta maaf, karena selama ini ibu tidak pernah membahagiakanmu, anakku” kata ibu Sampuraga dengan rasa haru

“Terima kasih, bu! Raga berjanji akan segera kembali jika Raga sudah berhasil. Doakan Raga, ya bu!“ Sampuraga meminta doa restu kepada ibunya.

“Ya, anakku! Siapkanlah bekal yang akan kamu bawa!” seru sang ibu. Setelah mendapat doa restu dari ibunya, Sampuraga pun segera mempersiapkan segala sesuatunya.

Keesokan harinya, Sampuraga berpamitan kepada ibunya. “Bu, Raga berangkat! jaga diri ibu baik-baik, jangan terlalu banyak bekerja keras!” saran Sampuraga kepada ibunya.

Berhati-hatilah di jalan! Jangan lupa cepat kembali jika sudah berhasil!” harap sang ibu.

Sebelum meninggalkan gubuk reotnya, Sampuraga mencium tangan sang Ibu yang sangat disayanginya itu. Suasana haru pun menyelimuti hati ibu dan anak yang akan berpisah itu. Tak terasa, air mata keluar dari kelopak mata sang Ibu. Sampuraga pun tidak bisa membendung air matanya. Ia kemudian merangkul ibunya, sang Ibu pun membalasnya dengan pelukan yang erat, lalu berkata: “Sudahlah, Anakku! Jika Tuhan menghendaki, kita akan bertemu lagi,” kata sang Ibu.

Setelah itu berangkatlah Sampuraga meninggalkan ibunya seorang diri. Berhari-hari sudah Sampuraga berjalan kaki menyusuri hutan belantara dan melawati beberapa perkampungan. Suatu hari, sampailah ia di kota Kerajaan Pidoli, Mandailing. Ia sangat terpesona melihat negeri itu. Penduduknya ramah-tamah, masing-masing mempunyai rumah dengan bangunan yang indah beratapkan ijuk. Sebuah istana berdiri megah di tengah-tengah keramaian kota. Candi yang terbuat dari batu bata terdapat di setiap sudut kota. Semua itu menandakan bahwa penduduk di negeri itu hidup makmur dan sejahtera.

Di kota itu, Sampuraga mencoba melamar pekerjaan. Lamaran pertamanya pun langsung diterima. Ia bekerja pada seorang pedagang yang kaya-raya. Sang Majikan sangat percaya kepadanya, karena ia sangat rajin bekerja dan jujur. Sudah beberapa kali sang Majikan menguji kejujuran Sampuraga, ternyata ia memang pemuda yang sangat jujur. Oleh karena itu, sang Majikan ingin memberinya modal untuk membuka usaha sendiri. Dalam waktu singkat, usaha dagang Sampuraga berkembang dengan pesat. Keuntungan yang diperolehnya ia tabung untuk menambah modalnya, sehingga usahanya semakin lama semakin maju. Tak lama kemudian, ia pun terkenal sebagai pengusaha muda yang kaya-raya.

Sang Majikan sangat senang melihat keberhasilan Sampuraga. Ia berkeinginan menikahkan Sampuraga dengan putrinya yang terkenal paling cantik di wilayah kerajaan Pidoli.

“Raga, engkau adalah anak yang baik dan rajin. Maukah engkau aku jadikan menantuku?” tanya sang Majikan.

“Dengan senang hati, Tuan! Hamba bersedia menikah dengan putri Tuan yang cantik jelita itu,” jawab Sampuraga.

Pernikahan mereka diselenggarakan secara besar-besaran sesuai adat Mandailing. Persiapan mulai dilakukan satu bulan sebelum acara tersebut diselenggarakan. Puluhan ekor kerbau dan kambing yang akan disembelih disediakan. Gordang Sambilan dan Gordang Boru yang terbaik juga telah dipersiapkan untuk menghibur para undangan.

Berita tentang pesta pernikahan yang meriah itu telah tersiar sampai ke pelosok daerah. Seluruh warga  mengetahui berita itu, termasuk ibu Sampuraga. Perempuan tua itu hampir tidak percaya jika anaknya akan menikah dengan seorang gadis bangsawan, putri seorang pedagang yang kaya raya.

“Ah, tidak mungkin anakku akan menikah dengan putri bangsawan yang kaya, sedangkan ia adalah anak seorang janda yang miskin. Barangkali namanya saja yang sama,” demikian yang terlintas dalam pikiran janda tua itu.

Walaupun masih ada keraguan dalam hatinya, ibu tua itu ingin memastikan berita yang telah diterimanya. Setelah mempersiapkan bekal secukupnya, berangkatlah ia ke negeri Mandailing dengan berjalan kaki untuk menyaksikan pernikahan anak satu-satunya itu. Setibanya di wilayah kerajaan Pidoli, tampaklah sebuah keramaian dan terdengar pula suara Gordang Sambilan bertalu-talu. Dengan langkah terseok-seok, nenek tua itu mendekati keramaian. Alangkah terkejutnya, ketika ia melihat seorang pemuda yang sangat dikenalnya sedang duduk bersanding dengan seorang putri yang cantik jelita. Pemuda itu adalah Sampuraga, anak kandungnya sendiri.

Oleh karena rindu yang sangat mendalam, ia tidak bisa menahan diri. Tiba-tiba ia berteriak memanggil nama anaknya.

Sampuraga sangat terkejut mendengar suara yang sudah tidak asing di telinganya. “Ah, tidak mungkin itu suara ibu,” pikir Sampuraga sambil mencari-cari sumber suara itu di tengah-tengah keramaian. Beberapa saat kemudian, tiba-tiba seorang nenek tua berlari mendekatinya.

“Sampuraga…Anakku! Ini aku ibumu, Nak!” seru nenek tua itu sambil mengulurkan kedua tangannya hendak memeluk Sampuraga.

Sampuraga yang sedang duduk bersanding dengan istrinya, bagai disambar petir. Wajahnya tiba-tiba berubah menjadi merah membara, seakan terbakar api. Ia sangat malu kepada para undangan yang hadir, karena nenek tua itu tiba-tiba mengakuinya sebagai anak.

“Hei, perempuan jelek! Enak saja kamu mengaku-ngaku sebagai ibuku. Aku tidak punya ibu jelek seperti kamu! Pergi dari sini! Jangan mengacaukan acaraku!”, hardik Sampuraga.

“Sampuraga…, Anakku! Aku ini ibumu yang telah melahirkan dan membesarkanmu. Kenapa kamu melupakan ibu? Ibu sudah lama sekali merindukanmu. Rangkullah Ibu, Nak!” Iba perempuan tua itu.

“Tidak! Kau bukan ibuku! Ibuku sudah lama meninggal dunia. Algojo! Usir nenek tua ini!” Perintah Sampuraga.

Hati Sampuraga benar-benar sudah tertutup. Ia tega sekali mengingkari dan mengusir ibu kandungnya sendiri. Semua undangan yang menyaksikan kejadian itu menjadi terharu. Namun, tak seorang pun yang berani menengahinya.

Perempuan tua yang malang itu kemudian diseret oleh dua orang sewaan Sampuraga untuk meninggalkan pesta itu. Dengan derai air mata, perempuan tua itu berdoa: “Ya, Tuhan! Jika benar pemuda itu adalah Sampuraga, berilah ia pelajaran! Ia telah mengingkari ibu kandungnya sendiri

Seketika itu juga, tiba-tiba langit diselimuti awan tebal dan hitam. Petir menyambar bersahut-sahutan. Tak lama kemudian, hujan deras pun turun diikuti suara guntur yang menggelegar seakan memecah gendang telinga. Seluruh penduduk yang hadir dalam pesta berlarian menyelamatkan diri, sementara ibu Sampuraga menghilang entah ke mana. Dalam waktu singkat, tempat penyelenggaraan pesta itu tenggelam seketika. Tak seorang pun penduduk yang selamat, termasuk Sampuraga dan istrinya.

Beberapa hari kemudian, tempat itu telah berubah menjadi kolam air yang sangat panas. Di sekitarnya terdapat beberapa batu kapur berukuran besar yang bentuknya menyerupai kerbau. Selain itu, juga terdapat dua unggukan tanah berpasir dan lumpur warna yang bentuknya menyerupai bahan makanan. Penduduk setempat menganggap bahwa semua itu adalah penjelmaan dari upacara pernikahan Sampuraga yang terkena kutukan. Oleh masyarakat setempat, tempat itu kemudian diberi nama “Kolam Sampuraga”. Hingga kini, tempat ini telah menjadi salah satu daerah pariwisata di daerah Mandailing yang ramai dikunjungi orang.



 

Budaya Marga Nasution

 1. Awal Keturunan Pertama Marga Nasution



Orang-orang Mandailing bermarga Nasution meyakini mereka adalah keturunan Si Baroar yang pada masa bayinya ditemukan di tengah hutan oleh Sutan Pulungan raja dari Huta Bargot di Mandailing Godang. Versi lain mengatakan bahwa "Nasution yang pertama kiranya adalah putera dari Raja Iskandar Muda dari Pagar Ruyong (pusat dari kerjaan Minangkabau kuno), yang pada gilirannya adalah cucu dari Sultan Iskandar, nama bagi Alexander de Grote (the Great) dalam cerita-cerita Indonesia.

Dalam perjalanan menjelajahi pulau Sumatra, Iskandar Muda sampai berhubungan dengan seorang gadis bunian, yang melahirkan seorang anak lelaki untuknya." Anak itulah yang kemudian ditemukan Sutan Pulungan di tengah hutan ketika ia sedang berburu.

Kisah tentang Si Baroar sangat meyakinkan bagi masyarakat Mandailing karena sekitar pertengahan abad yang lalu kisah tersebut telah dituliskan oleh Willem Iskander (1840-1876) dalam buku karangannya berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk. Buku tersebut yang ditulis dalam bahasa Mandailing dipakai untuk bacaan di sekolah-sekolah sampai pada masa awal kemerdekaan Indonesia.


2.  Tarombo atau Silsilah 

Satu-satunya data yang dapat dipergunakan untuk menghitung usia marga-marga yang terdapat di Mandailing ialah tarombo kerana ia mencatat setiap generasi marga dari nenek moyang masing-masing. jurai keturunan itu terkadang meragukan kerana beberapa tarombo dari marga tertentu sering berselisih jumlah generasi yang tercatat di dalamnya.

Jika diperhitungkan berdasarkan tarombo marga Nasution memiliki 19 sundut atau keturunan, maka dapat ditaksirkan bahwa marga Nasution sudah bertempat di Mandailing selama kira-kira 475 tahun. Perkiraan ini didasarkan pada taksiran 25 tahun untuk satu generasi. Sejak marga Nasution mulai berkuasa di Mandailing Godang, tidak dapat dipastikan.

Sementara tarombo marga Lubis memiliki 22 sundut. Ini menunjukkan bahwa keturunan Namora Pande Bosi telah bertempat tinggal di Mandailing selama kira-kira 550 tahun, yakni sejak abad ke 15, jika  diperhitungkan 25 tahun satu generasi. Bagaimanapun sejak bila marga Lubis mula berkuasa di Mandailing Julu tidak diketahui dengan pasti.


3. Dalian Na Tolu

suku Mandailing di mana pun mereka berada di Tanah Mandailing atau di rantau mengamalkan sistem kekrabatan Dalian Na Tolu (Tumpuan Yang Tiga). Artinya, mereka terdiri dari kelompok kekerabatan Mora (kelompok kerabt pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara). Yang menjadi pimpinan kelompok tersebut biasanya adalah anggota keluarga dekat dari Raja yang menjadi kepala pemerintahan di Banua atau Huta asal mereka.

Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis.

Dahulu kala, orang Mandailing yang merantau ke Minangkabau, Sumatra timur atau Semenanjung, apabila mereka bertemu satu sama lain, pertama-tama mereka ìsorehî atau bertanya kampung asal dan marga masing-masing. Dengan cara itu mereka sudah tahu siapa orang itu dan apa gerangannya


4. Penyabungan Tonga-tonga


Gambar: makam Marga Nasution di penyabungan tonga-tonga mandeling godang

Tempat yang dipandang terpenting di Mandailing Godang sejak dahulu ialah Panyabungan yang berkembang dari sebuah desa tertua menjadi kota kecil. Sementara bagian yang dipandang terpenting daripada Panyabungan ialah Panyabungan Tonga-Tonga kerana menurut kepercayaan orang-orang Mandailing di tempat itulah dahulu kala pertama kali bermukim Si Baroar, yakni tokoh yang dipandang sebagai nenek moyang orang-orang Mandailing marga Nasution.

Setelah diangkat oleh penduduk menjadi raja, Si Baroar digelar Sutan Diaru. Dari Panyabungan Tonga-Tonga, keturunannya bertebaran dan menjadi raja-raja di berbagai tempat di Mandailing Godang. Sampai sekarang terdapat Bagas Godang (Rumah Besar) dan sebuah balai sidang adat yang dinamakan Sopo Godang (balai agung) di Panyabungan Tonga-Tonga. Dalam jarak yang tidak begitu jauh di sebelah selatan kedua bangunan tersebut terletak makam Si Baroar.

5.  Marga

Seperti kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat Mandailing adalah patrilineal, yaitu mengikut nasab atau keturunan sebelah Ayah. hanya anak lelaki yang menyambung atau memakai marga untuk keturunan berikutnya sedangakan wanita hanya memakai marga tidak dapat menyambung marga.

Nama marga atau clan name orang-orang Mandailing, lelaki dan wanita tetap memakai marga ayah jika menikah. Dia tidak memakai marga suaminya seperti wanita  Barat yang mengambil surname (nama keluarga) suami sesudah menikah .

Seperti orang Arab dan Tionghua, orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai silsilah mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau terombo) kemudian diperturunkan secara bertulis.

Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal-usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20 Yang masih ada memegang tambo turun-turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, seperti yang telah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali  Ini tidak bermakna karena marga-marga Mandailing yang lain tidak memelihara silsilah mereka.

Biasanya di dalam sesebuah kampung di Mandailing terdapat dua atau tiga marga utama dan marga-marga ini saling kahwin mengahwini. Adat Mandailing melarang perkahwinan sesama marga, misalnya Nasution dengan Nasution  pasangan yang melanggar aturan ini akan dihukum.





 Asal Mula Marga Nasution Si abu


Pada jaman dahulu di daerah Penyambuhan terdapat empat orang kakak beradik bermarga Nasution, keempat keturunan Nasution ini berjalan menuju arah Mandailing Jae untuk mencari tempat persinggahan ataupun tempat usaha yang baru setiba di Desa Gunung Tua, disana dibuat kesepakatan sesuai dengan umur. Maka yang tertua memilih dimana dia akan singgah terlebih dahulu, lalu sampailah di Desa Huraba, sedangkan ketiga orang adiknya melanjutkan perjalanan, adik kedua memutuskan untuk singgah ke desa Si Abu. Sementara adik ketiga dan keempat memutuskan untuk singgah ke Pagaran Bira.            
                                           
Yang tinggal di Desa Siabu bernama Sultan Kumala Sian Nasution, dia membuka perkampungan di pinggir sungai yang disebut Aek Siancing sekarang ini, setelah beberapa tahun membuka perkampungan maka Sultan Kumala Sian menikah  dengan seorang wanita yang dijodohkan orang tuanya, setelah puluhan tahun lamanya Sultan Kumala Sian mempunyai anak cucu, tetapi anak dan cucunya tidak tinggal bersamanya. Suatu hari melintaslah seorang musafir dengan kondisi sakit yang sangat mengkhawatirkan maka Sultan Kumala Sian menawarkan untuk bermalam keadaan orang tersebut semakin parah akhirnya Beliau memutuskan untuk mencoba mengobatinya dan dengan kepercayaan yang tinggi musafir tersebut akhirnya terselamatkan.                                                                                                                                                                                                                                                                   
Setelah penyakitnya sembuh sang musafir melanjutkan perjalanan. Di sepanjang perjalanannya musafir tersebut terus menceritakan tentang Sultan Kumala Sian yang mampu mengobati orang sakit dan membuka perkampungan dekat dengan Kayu Abu yang sangat besar sehingga menyebar ke pelosok negeri, orang ramai pun berdatangan untuk berobat serta banyak juga yang memutuskan untuk tinggal di desa tersebut. Seiring berjalannya waktu para saudagar banyak yang datang untuk berjualan dibawah pohon kayu yang sangat besar yang di sebut kayu abu tepatnya ditengah pasar Los Siabu sekarang. 
                                                                 
Semakin hari kayu besar tersebut tak mampu lagi menampung manusia yang semakin banyak dan akhirnya masyarakat pun sepakat untuk menebang kayu itu, kayu abu tersebut di kenang dengan cara menamakan perkampugan tersebut dengan nama Siabu .


Keluarga kami keturunan Nasution Siabu.

A. Zulkipli Nasution menikah dengan Darwati Hasibuan
    1. Ardani Nasution 
    2. Budi Nasution 
    3. Fatimah Nasution
    4. Azra Hyfa Nasution


nb: Marga yang di dipakai diambil dari ayah hanya keturunan pria yang dapat meneruskan marga ke anaknya sedangkan wanita hanya bisa menggunakannya sendiri, dilarang minakahi pria atau wanita yang semarga karena bersaudara jika yang melanggar biasanya akan terkena hukuman atau rumah tangga yang tidak harmonis. tetapi dimanapun, kapanpun jika bertemu semarga berarti kita bersaudara dan akan di perlakukan seperti saudara kandung.

    

MANDI AIR PANAS PEGUNUNGAN SORIK

MANDI AIR PANAS PEGUNUNGAN SORIK



Mandi air panas di bekas aliran larva Gunung Sorik Marapi, Di Desa Huta Raja, Kecamatan Puncak Sorik Marapi, Mandailing Natal, Sumatera Utara, ternyata berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kronis, rasa hangat suhu air ditambah campuran belerang alam membuat tubuh menjadi bugar.

Para pengunjung percaya, jika mandi di aliran air panas tersebut dapat menyembuhkan berbagai penyakit kronis, seperti reumatik, darah tinggi, hingga strok.Selain itu belerang alam yang terkandung pada air juga berkhasiat menyembuhkan berbagai penyakit kulit.

Karena khasiatnya itulah, maka setiap warga dari berbagai penjuru mandailing natal mendatangi tempat ini hanya untuk mandi semata. Mulai pagi hari, tempat pemandian ini ramai oleh pengunjung, mulai dari orang dewasa hingga anak-anak.

Pemandian air panas bumi ini terbentuk sejak tahun 1923, saat pertama kali Gunung Sorik Marapi memuntahkan lava pijarnya.

Meski saat itu seluruh kampung porak poranda, namun warga mendapat berkah dengan terbentuknya aliran anak sungai yang airnya berasal dari panas bumi.

Meski berada di sekitar pemukiman warga, namun warga setempat tidak memungut biaya apapun bagi siapa saja yang akan mandi di sini. Warga hanya meminta pengunjung berprilaku sopan dan menjaga kebersihan.

Budaya Marga Nasution

Budaya Marga Nasution

 1. Awal Keturunan Pertama Marga Nasution



Orang-orang Mandailing bermarga Nasution meyakini mereka adalah keturunan Si Baroar yang pada masa bayinya ditemukan di tengah hutan oleh Sutan Pulungan raja dari Huta Bargot di Mandailing Godang. Versi lain mengatakan bahwa "Nasution yang pertama kiranya adalah putera dari Raja Iskandar Muda dari Pagar Ruyong (pusat dari kerjaan Minangkabau kuno), yang pada gilirannya adalah cucu dari Sultan Iskandar, nama bagi Alexander de Grote (the Great) dalam cerita-cerita Indonesia.

Dalam perjalanan menjelajahi pulau Sumatra, Iskandar Muda sampai berhubungan dengan seorang gadis bunian, yang melahirkan seorang anak lelaki untuknya." Anak itulah yang kemudian ditemukan Sutan Pulungan di tengah hutan ketika ia sedang berburu.

Kisah tentang Si Baroar sangat meyakinkan bagi masyarakat Mandailing karena sekitar pertengahan abad yang lalu kisah tersebut telah dituliskan oleh Willem Iskander (1840-1876) dalam buku karangannya berjudul Si Bulus-Bulus Si Rumpuk-Rumpuk. Buku tersebut yang ditulis dalam bahasa Mandailing dipakai untuk bacaan di sekolah-sekolah sampai pada masa awal kemerdekaan Indonesia.


2.  Tarombo atau Silsilah 

Satu-satunya data yang dapat dipergunakan untuk menghitung usia marga-marga yang terdapat di Mandailing ialah tarombo kerana ia mencatat setiap generasi marga dari nenek moyang masing-masing. jurai keturunan itu terkadang meragukan kerana beberapa tarombo dari marga tertentu sering berselisih jumlah generasi yang tercatat di dalamnya.

Jika diperhitungkan berdasarkan tarombo marga Nasution memiliki 19 sundut atau keturunan, maka dapat ditaksirkan bahwa marga Nasution sudah bertempat di Mandailing selama kira-kira 475 tahun. Perkiraan ini didasarkan pada taksiran 25 tahun untuk satu generasi. Sejak marga Nasution mulai berkuasa di Mandailing Godang, tidak dapat dipastikan.

Sementara tarombo marga Lubis memiliki 22 sundut. Ini menunjukkan bahwa keturunan Namora Pande Bosi telah bertempat tinggal di Mandailing selama kira-kira 550 tahun, yakni sejak abad ke 15, jika  diperhitungkan 25 tahun satu generasi. Bagaimanapun sejak bila marga Lubis mula berkuasa di Mandailing Julu tidak diketahui dengan pasti.


3. Dalian Na Tolu

suku Mandailing di mana pun mereka berada di Tanah Mandailing atau di rantau mengamalkan sistem kekrabatan Dalian Na Tolu (Tumpuan Yang Tiga). Artinya, mereka terdiri dari kelompok kekerabatan Mora (kelompok kerabt pemberi anak dara), Kahanggi (kelompok kerabat yang satu marga) dan Anak Boru (kelompok kerabat penerima anak dara). Yang menjadi pimpinan kelompok tersebut biasanya adalah anggota keluarga dekat dari Raja yang menjadi kepala pemerintahan di Banua atau Huta asal mereka.

Masyarakat Mandailing diatur dengan menggunakan sistem sosial Dalian na Tolu (Tumpuan Yang Tiga) - merujuk kepada aturan kekerabatan marga - yang diikat menerusi perkawinan dan prinsip Olong Dohot Domu (Kasih Sayang dan Keakraban). Sistem pemerintahan Mandailing demokratis dan egalitar. Lembaga pemerintahan Na Mora Na Toras (Yang Dimuliakan dan Dituakan) memastikan keadilan dan kepemimpinan yang dinamis.

Dahulu kala, orang Mandailing yang merantau ke Minangkabau, Sumatra timur atau Semenanjung, apabila mereka bertemu satu sama lain, pertama-tama mereka ìsorehî atau bertanya kampung asal dan marga masing-masing. Dengan cara itu mereka sudah tahu siapa orang itu dan apa gerangannya


4. Penyabungan Tonga-tonga


Gambar: makam Marga Nasution di penyabungan tonga-tonga mandeling godang

Tempat yang dipandang terpenting di Mandailing Godang sejak dahulu ialah Panyabungan yang berkembang dari sebuah desa tertua menjadi kota kecil. Sementara bagian yang dipandang terpenting daripada Panyabungan ialah Panyabungan Tonga-Tonga kerana menurut kepercayaan orang-orang Mandailing di tempat itulah dahulu kala pertama kali bermukim Si Baroar, yakni tokoh yang dipandang sebagai nenek moyang orang-orang Mandailing marga Nasution.

Setelah diangkat oleh penduduk menjadi raja, Si Baroar digelar Sutan Diaru. Dari Panyabungan Tonga-Tonga, keturunannya bertebaran dan menjadi raja-raja di berbagai tempat di Mandailing Godang. Sampai sekarang terdapat Bagas Godang (Rumah Besar) dan sebuah balai sidang adat yang dinamakan Sopo Godang (balai agung) di Panyabungan Tonga-Tonga. Dalam jarak yang tidak begitu jauh di sebelah selatan kedua bangunan tersebut terletak makam Si Baroar.

5.  Marga

Seperti kebanyakan masyarakat di dunia, masyarakat Mandailing adalah patrilineal, yaitu mengikut nasab atau keturunan sebelah Ayah. hanya anak lelaki yang menyambung atau memakai marga untuk keturunan berikutnya sedangakan wanita hanya memakai marga tidak dapat menyambung marga.

Nama marga atau clan name orang-orang Mandailing, lelaki dan wanita tetap memakai marga ayah jika menikah. Dia tidak memakai marga suaminya seperti wanita  Barat yang mengambil surname (nama keluarga) suami sesudah menikah .

Seperti orang Arab dan Tionghua, orang Mandailing mempunyai pengetahuan mengenai silsilah mereka sampai beberapa keturunan sekaligus riwayat nenek moyang mereka. Pada mulanya silsilah sesuatu marga diriwayatkan turun-temurun secara lisan (tambo atau terombo) kemudian diperturunkan secara bertulis.

Menurut Abdoellah Loebis yang menulis mengenai asal-usul orang Mandailing dalam majalah Mandailing yang diterbitkan di Medan pada awal kurun ke-20 Yang masih ada memegang tambo turun-turunannya, yaitu marga Lubis dan Nasution, seperti yang telah dikarang oleh Almarhum Raja Mulya bekas Kuriahoofd (daerah) Aek (Sungai) Nangali  Ini tidak bermakna karena marga-marga Mandailing yang lain tidak memelihara silsilah mereka.

Biasanya di dalam sesebuah kampung di Mandailing terdapat dua atau tiga marga utama dan marga-marga ini saling kahwin mengahwini. Adat Mandailing melarang perkahwinan sesama marga, misalnya Nasution dengan Nasution  pasangan yang melanggar aturan ini akan dihukum.




Si Baroar

Sejarah Marga Nasution








Makamnya Si Baroar, leluhur marga Nasution di Panyabungan. (Basyaral Hamidy Harahap & Hotman M. Siahaan, Orientasi Nilai-Nilai Budaya Batak: Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola-Mandailing, Sanggar Willem Iskander, Jakarta, 1987)


 Si Baroar
   Si Baroar adalah sebuah legenda yang mengisahkan tentang asal-usul orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution di daerah Sumatra Utara, Indonesia. Menurut cerita, si Baroar adalah anak yatim piatu yang berwajah tampan. Ia memiliki wajah yang sangat mirip dengan wajah putra Sutan Pulungan, Raja dari Kerajaan Huta Bargot. Kemiripan wajah kedua anak tersebut membuat Sutan Pulungan dan permaisurinya merasa sangat terhina, karena rakyatnya seringkali keliru menyapa kedua anak itu. Akhirnya, Sutan Pulungan memutuskan untuk membunuh si Baroar.

   Dahulu kala di Mandailing, Sumatra Utara, terdapat sebuah kerajaan kecil yang bernama Huta Bargot. Kerajaan tersebut terletak di seberang Sungai Batang Gadis. Rajanya yang bergelar Sutan Pulungan. Ia mempunyai seorang permaisuri dan putra yang masih bayi. Di sela-sela kesibukannya mengurus kerajaan, Sutan Pulungan sering meluangkan waktu pergi ke tengah hutan untuk berburu rusa.

  Pada suatu hari Sutan Pulungan bersama beberapa orang hulubalang dan prajuritnya berburu rusa di sebuah hutan lebat. Sutan Pulungan membawa anjing pemburu kesayangannya yang sangat pintar dan tangkas bernama Sipamutung. Ketika mereka sampai di tengah hutan, Sipamutung tiba-tiba berlari kencang menuju ke suatu tempat. Tak berapa lama kemudian, ia pun terdengar menyalak dengan serunya. Mendengar salakan anjing kesanyangannya tersebut, Sutan Pulungan segera memerintahkan prajuritnya pergi ke tempat itu.

  “Prajurit! Cepatlah kalian susul si Pamutung! Aku yakin dia pasti menemukan rusa!” seru Sutan Pulungan kepada prajuritnya.

   Mendengar perintah  beberapa orang prajurit segera berlari ke tempat Sipamutung menyalak. Setibanya di tempat mereka melihat sebuah banyangan perempuan berkelebat lari dari bawah sebatang pohon beringin besar. Sementara Sipamutung masih terus menyalak. Ketika para prajurit tersebut mendekat dan memeriksa ke bawah pohon itu, tampaklah seorang bayi laki-laki tampan terbaring di atas sebuah batu besar. Tak berapa lama kemudian, Sutan Pulungan pun tiba.

“Hai, Prajurit! Mana rusa itu?” tanya Sutan Pulungan.

“Ampun, Baginda! Ternyata Sipamutang menyalak bukan karena menemukan rusa, tapi seorang bayi,” jawab seorang prajurit.

“Apa katamu? Seorang bayi?” tanya Sutan Pulungan terkejut seraya mendekati bayi tersebut.

   “Siapa yang meletakkan bayi di atas batu ini?” Sutan Pulungan kembali bertanya. “Ampun, Baginda! Hamba juga tidak tahu. Tapi, saat baru tiba, hamba dan prajurit lainnya melihat seorang perempuan berkelebat dengan sangat cepat meninggalkan tempat ini,” jawab seorang prajurit lainnya.

   Mendengar penjelasan prajurit tersebut, Sutan Pulungan pun yakin bahwa bayi itu sengaja dibuang oleh orang tuanya. Akhirnya, ia bersama rombongannya memutuskan untuk berhenti berburu dan segera membawa pulang bayi malang itu. Setibanya di Negeri Huta Bargot, Sutan Pulungan menyerahkan bayi itu kepada seorang janda tua bernama si Saua, yang sejak lama mendambakan seorang anak.

“Terima kasih, Baginda! Hamba akan merawat bayi ini seperti anak kandung hamba sendiri,” ucap janda tua itu dengan senang hati.

Setiap kali pergi bekerja ke sawah, perempuan tua itu meletakkan bayi tersebut di dalam baroar, yakni kandang anjing. Oleh karena itu, orang-orang pun menamakan anak itu si Baroar.

Waktu terus berjalan. Si Baroar telah berusia lima tahun dengan wajah yang sangat tampan. Namun anehnya, wajah dan perawakan si Baroar sangat mirip dengan putra Sutan Pulungan, sehingga orang-orang di sekitarnya tidak dapat lagi membedakan keduanya. Orang-orang sering keliru menyapa ketika bertemu dengan salah seorang dari kedua anak tersebut. Jika si Baroar berjalan-jalan sendirian, orang-orang yang bertemu dengannya selalu memberi hormat kepadanya dan menyapanya seperti menyapa putra Sutan Pulungan. Tetapi sebaliknya, jika bertemu dengan putra Sutan Pulungan, mereka memperlakukannya seperti anak orang kebanyakan.

Saat mengetahui putranya sering mendapat perlakuan demikian dari orang-orang di sekitarnya, Sutan Pulungan dan permaisurinya merasa sangat terhina. Oleh karena itu, mereka memutuskan untuk membunuh si Baroar secara rahasia agar tidak diketahui oleh orang banyak.

Sutan Pulungan mengumpulkan seluruh pembesar kerajaan untuk menyusun rencana pembunuhan rahasia tersebut. Dalam sidang tersebut, ia memerintahkan kepada pembesarnya agar segera menyelenggarakan upacara adat Sopo Godang, yakni upacara penggantian tiang besar balai sidang yang sudah lapuk. Sutan Pulungan akan menyelenggarakan upacara adat tersebut secara besar-besaran di istana Kerajaan Huta Bargot, karena ia ingin memanfaatkan keramaian itu untuk menutupi perbuatannya membunuh si Baroar.

“Bagaimana caranya kami membunuh si Baroar, Baginda?” tanya seorang hulubalang. “Sebelum memasukkan tiang pengganti ke dalam lubang tempat menanamnya, terlebih dahulu kalian harus menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang tersebut, dan menimpanya dengan tiang pengganti,” jelas Sutan Pulungan. Sutan Pulungan juga memerintahkan kepada seorang hulubalang untuk memberi tanda silang pada kening si Baroar dengan kapur sirih.

“Ampun, Baginda! Kenapa si Baroar harus diberi tanda silang?” tanya hulubalang lainnya ingin tahu.

“Maksudnya adalah agar kalian bisa membedakan secara pasti yang mana si Baroar dan yang mana pula putraku, sehingga kalian
tidak keliru membunuh si Boroar,” jelas Sutan Pulungan
.
Setelah mendengar penjelasan tersebut, para pembesar kerajaan segera menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan dalam upacara Sopo Godang tersebut. Begitu pula hulubalang yang telah ditunjuk oleh sang Raja segera mencari si Baroar untuk memberi tanda silang pada keningnya.

Pada hari yang telah ditentukan, upacara adat itu segara akan dilaksanakan. Seluruh rakyat negeri yang akan mengikuti upacara adat tersebut telah berkumpul di halaman istana. Dalam upacara tersebut Sutan Pulungan juga menyelenggarakan berbagai atraksi dan pertunjukan seni. Hal ini bertujuan untuk mengalihkan perhatian para warga yang hadir agar para hulubalang dapat melaksanakan tugas untuk membunuh si Baroar tanpa sepengetahuan mereka.

Ketika para warga sedang asyik bersuka ria, para hulubalang pun menyiapkan tiang untuk dimasukkan ke dalam lubang. Kebetulan saat itu, mereka melihat si Baroar yang sudah diberi tanda di keningnya sedang berdiri tidak jauh dari mereka. Secara sembunyi-sembunyi, mereka segera menangkap dan menjatuhkan si Baroar ke dalam lubang, kemudian menimpanya dengan tiang besar. Tak seorang pun yang mengetahui perbuatan mereka, karena para warga sedang asyik bersuka ria. Para hulu balang pun merasa lega dan gembira, karena berhasil menjalankan tugas dengan lancar. Demikian pula yang dirasakan oleh Sutan Pulungan, karena si Baroar yang selalu membuatnya terhina telah mati.


Namun, sejak acara tersebut dilaksanakan, putra Sutan Pulungan tidak pernah lagi terlihat di istana. Seluruh keluarga istana menjadi panik dan segera mencari putra Sutan Pulungan. Mereka telah mencarinya di sekitar istana, namun mereka tetap tidak menemukannya. Sutan Pulung pun mulai cemas, jangan-jangan para hulubalangnya keliru dalam menjalankan tugas. Untuk itu, ia pun segera mengutus seorang hulubalang pergi ke rumah si Saua untuk melihat apakah si Baroar masih bersamanya. Ternyata benar. Sesampainya di sana, utusan melihat si Baroar sedang membelah kayu bakar bersama si Saua. Ia pun segera kembali ke istana untuk melaporkan hal itu kepada sang Raja.

“Ampun, Baginda! Ternyata si Baroar masih hidup. Ia masih bersama janda tua itu,” lapor utusan itu.

Mendengar laporan itu, Sutan Pulungan langsung naik pitam. Ia sangat marah kepada para hulubalangnya yang telah keliru menjalankan tugasnya.


“Hai, para Hulubalang! Kalian telah salah membunuh. Anak yang kalian masukkan ke dalam lubang itu adalah putraku, bukan si Baroar!” seru Sutan Pulungan dengan wajah memerah


Rupanya kekeliruan itu bermula beberapa saat sebelum upacara adat tersebut dilaksanakan. Putra Sutan Pulungan melihat tanda silang pada kening si Baroar. Karena ingin seperti si Baroar, ia pun menyuruh seseorang untuk membuat tanda yang serupa di keningnya. Kemudian ia pergi ke tengah keramaian upacara, dan pada saat itulah para hulubalang menangkapnya secara sembunyi-sembunyi, lalu memasukkannya ke dalam lubang.

Sutan Pulungan yang telah kehilangan putranya segera memerintahkan tiga orang hulubalangnya untuk membunuh si Baroar. Ketiga hulubalang itu pun segera menuju ke rumah si Baroar dengan pedang terhunus. Saat tiba di sana, mereka tidak menemukan si Baroar dan si Saua.

Rupanya, ada orang yang mengetahui rencana pembunuhan yang akan dilakukan oleh para hulubalang tersebut terhadap si Baroar. Orang itu pun memberitahu si Saua agar segera menyelamatkan si Baroar. Jadi, sebelum para hulubalang tersebut tiba di rumahnya, si Saua telah membawa lari si Baroar ke daerah persawahan yang sedang menguning padinya, tak jauh dari tepi Sungai Batang Gadis.

Ketika sampai di daerah persawahan, si Saua mengajak si Baroar untuk bersembunyi di sebuah gubuk yang atapnya hanya tinggal rangkanya yang berdiri di tengah sawah. Sebab, ia yakin bahwa para hulubalang tersebut pasti akan mengejar dan mendapati mereka sebelum tiba di tepi sungai.

“Anakku! Kita bersembunyi di sini saja! Kalau kita terus berlari, mereka pasti akan menangkap kita, karena mereka bisa berlari dengan cepat!” ujar si Saua seraya merangkul tubuh si Baroar. Para hulubalang tersebut tiba-tiba kehilangan jejak. Saat melihat sebuah gubuk di tengah sawah, mereka pun mendekatinya. Ketika sampai di dekat gubuk itu, langkah mereka tiba-tiba terhenti. Si Saua dan si Baroar pun semakin ketakutan, karena mengira para hulubalang tersebut mengetahui keberadaan mereka. Namun ternyata, para hulubalang tersebut berhenti melangkah, karena melihat ada seekor burung balam sedang bertengger di puncak kerangka atap gubuk itu sambil terus berkicau.

“Ayo kawan-kawan kita cari mereka di tempat lain! Untuk apa kita cari di si janda tua dan si Baroar di gubuk itu. Kalau mereka bersembunyi di situ, tidak mungkin burung balam itu bertengger di atas sana!” seru hulubalang yang memimpin pengejaran itu.

Setelah para hulubalang tersebut cukup jauh dari gubuk itu, si Saua dan si Baroar keluar dari gubuk itu dan berlari menuju ke arah Sungai Batang Gadis. Namun sialnya, para hulubalang melihat mereka lagi.

“Hai, itu mereka! Ayo kita kejar!” seru pemimpin hulubalang. Si Saua dan si Baroar pun berlari semakin cepat. Ketika mereka tiba di tepi sungai, ternyata Sungai Batang Gadis sedang banjir besar, sehingga mereka tidak dapat menyeberang. Sementara para hulubalang yang mengejarnya semakin dekat. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Dalam keadaan nyawa terancam, si Saua segera bersujud ke tanah memohon pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa.

“Ya Tuhan! Selamatkanlah nyawa kami!” ucap si Saua.

Ketika mengangkat kepalanya kembali, si Saua melihat sebatang kayu besar yang amat panjang hanyut melintang di tengah sungai. Anehnya, kayu besar itu berhenti tepat di hadapan mereka dalam keadaan melintang sampai ke seberang. Tanpa berpikir panjang dan merasa takut sedikit pun, janda tua itu dan si Baroar segera meniti kayu besar itu. Begitu tiba di seberang sungai, kayu besar itu kembali hanyut terbawa arus banjir. Para hulubalang yang baru tiba di tepi sungai tak dapat lagi mengejar mereka. Akhirnya, si Saua dan si Baroar selamat dari kematian.

Konon, beberapa tahun kemudian, di seberang Sungai Batang Gadis tersebut berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Panyabungan Tonga-Tonga yang dipimpin oleh si Baroar bersama permaisurinya. Keturunannya kemudian dikenal sebagai orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution.

Demikian cerita Si Baroar dari daerah Sumatra Utara, Indonesia. Menurut masyarakat penutur cerita ini, cerita Si Baroar termasuk katogeri legenda mengenai asal-usul orang-orang Mandailing yang bermarga Nasution. Hingga saat ini tempat yang bernama Huto Bargot dan Panyabungan Tonga-Tonga tersebut menjadi nama dua desa di Mandailing. Di Desa Panyabungan Tonga-Tonga terdapat sebuah makam tua yang dipercaya sebagai makam si Baroar.


Lubuk Larangan dan Mata Air Kehidupan Warga Mandailing


Lubuk Larangan 
dan 
Mata Air Kehidupan Warga Mandailing


Orang yang bermarga Lubis, tentu mengenal betul hikayat Namora Pande Bosi yang menasihatkan anaknya Silangkitang dan Sibaitang, ketika mereka harus meninggalkan kampung Hatongga, agar menyusuri Sungai Batang Gadis untuk membuka tempat pemukiman baru. Sebab itulah, kebanyakan perkampungan warga Mandailing hingga sekarang selalu didirikan berdekatan dengan sumber-sumber air.

Ada beberapa istilah yang diberikan pada sumber air di kawasan Mandailing: sungai disebut batang, anak sungai, aek, atau ranting sungai rura dan mata air yang disebut mual. Nama-nama sungai atau muaranya bahkan banyak dijadikan sebagai acuan nama pemukiman orang-orang Mandailing.

Pada masyarakat Mandailing, eksistensi air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar pemukiman mereka berperan multi-fungsi, sebagai air minum dan mandi cuci kakus (MCK), mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya (misalnya dalam ritus patuaekkon boru), relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan juga ekonomi (mencari emas/manggore, ikan, bahan bangunan berupa pasir, kerikil dan juga batu). Dengan kata lain, bagi orang Mandailing air merupakan "mata air kehidupan" yang sekaligus bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis.

a. Lubuk Larangan

Oleh karena banyak sekali kepentingan orang Mandailing terhadap sumber daya air, maka tidak heran, sejak tahun 1980-an bermunculan gagasan di 70 desa Kabupaten Mandailing Natal untuk menyelenggarakan sistem pengelolaan sungai dengan model lubuk larangan (river protected area).
Memang mayoritas desa di Mandailing berdekatan dengan aliran sungai. Keberadaan desa tersebut dapat ditelusuri mulai dari Kecamatan Muara Sipongi -- hulu Sungai Batang Gadis ke arah hilir Kecamatan Kotanopan hingga ke Kecamatan Penyambungan. Selain itu terdapat juga desa di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai yang ada di Kec. Batang Natal, serta sepanjang sungai Batang Selai sampai Danau Rinaete di Tapanuli Selatan.

Pada sebagian aliran sungai yang melintasi wilayah suatu desa-desa itulah, penduduk desa bersepakat untuk menetapkan sebuah wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu (berkisar 6-12 bulan). Kawasan terlarang itu disebut 'lubuk larangan'. Hasil pengelolaan lubuk larangan tersebut akan digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa. Jadi konsep "larangan" yang ada dalam khasanah budaya Mandailing dan Angkola telah ditransformasikan ke dalam bentuk baru yang lebih rasional oleh komunitas-komunitas desa di sepanjang aliran sungai-sungai Batang Gadis, Batang Natal dan Batang Selai.

Paling tidak ada dua hal yang istimewa dari munculnya fenomena pengelolaan sungai dengan sistem lubuk larangan tersebut. Pertama, kemampuan komunitas setempat di kawasan Mandailing melakukan perubahan radikal dalam konsepsi penguasaan sumberdaya alam (sungai), dari yang semula dipahami sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun menjadi sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Dengan perubahan konsepsi tersebut, maka kecenderungan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam menjadi terkurangi, sehingga gejala "tragedi milik bersama" (tragedy of the common) dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat akses terbuka tidak terjadi, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya yang ada di sungai.

Kedua, komunitas-komunitas desa pengelola lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) di antara mereka dalam pengelolaan sumberdaya "milik bersama". Komunitas desa pengelola lubuk larangan di Mandailing, sampai batas-batas tertentu mampu menyiasati kondisi yang tidak sehat itu, yang terlihat dari tetap kukuhnya mereka membangun sistem pengelolaan lubuk larangan yang relatif terbebas dari "campur tangan penguasa".

Hasilnya cukup mengagetkan: ketika setiap tahun pemerintah menyalurkan dana Bangdes ke desa-desa melalui jalur formal, kita sudah banyak mengetahui apa hasil pembangunan yang bisa dicapai di desa-desa itu; tetapi pengelolaan lubuk larangan yang dibangun dengan mengandalkan modal sosial (bukan modal material/finansial), mampu menghasilkan banyak hal di desa, misalnya mendirikan gedung madrasah (seperti di Desa Hutarimbaru dan desa Singengu, Kec.Kotanopan), masjid (di banyak desa di Kec. Muara Sipongi, Kotanopan dan Batang Natal), menggaji guru SD Negeri (di Batang Natal), menyantuni anak yatim dan fakir miskin ( di banyak desa Kec. Batang Natal), membangun titi/rambin dan jalan desa (di desa Koto Baringin, Kec. Muara Sipongi, desa Husor Tolang, Kotanopan ), dan banyak lagi contoh lainnya.

Ketika dana Bangdes dan dana-dana pembangunan lainnya masuk ke desa, yang sering terjadi adalah sikut-sikutan antar elit desa (bahkan konflik terbuka), dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan hasil lubuk larangan hal itu tidak ditemukan. Erwin A Perbatakusuma, Policy Analist, Northern Conservation Corridor Project


Atas : papan nama yang menunjukkan peraturan menganai Lubuk Larangan kepada warga sekitar


b. Lubuk Larangan  Modal Sosial Masyarakat Mandailing

 Keterangan Gambar bawah : Sungai Batang Gadis yang mengaliri kawasan Mandailing Natal

Bagi masyarakat Mandailing di Sumatera Utara, sungai adalah berkah alam sebagai modal untuk kepentingan sosial. Hal itu pulalah yang mendorong warga berlomba-lomba membuat lubuk larangan, hingga kini.

Setelah melalui kesepakatan bersama, sebagian aliran sungai yang melintasi di desa kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu. Biasanya 6-12 bulan. Setelah panen, panitia kemudian membuka lubuk larangan untuk umum dan hasil pengelolaannya digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa, menyantuni anak-anak yatim, dan mendanai berbagai kegiatan sosial yang lain.

Sistem pengelolaan lubuk larangan ini bisa kita temui di desa-desa yang dilalui aliran Sungai Batang Gadis, mulai dari bagian hulu di kawasan Pakantan, ke arah hilir hingga ke daerah Panyabungan; dan juga di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai di Kecamatan Batang Natal. Bahkan, sistem ini kini telah berkembang luas di seluruh Mandailing Natal, dan sebagian Tapanuli Selatan.
lubuk larangan harus dimulai dengan musyawarah desa untuk menentukan batas-batas lubuk larangan. Tanpa kesepakatan bersama, lubuk larangan tidak bisa dibuat. Kemudian warga iuran sebagai modal mendatangkan "orang pintar" (dukun) dan untuk membeli bibit ikan.

Setelah sang dukun membaca doa-doa, kemudian diumumkan kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa sungai itu telah menjadi lubuk larangan. "Biasanya tak ada yang berani menangkap ikan di lubuk larangan,"

Bagi yang melanggar akan didenda Rp 500.000 per orang. Sanksi lain yang lebih ditakuti warga yaitu hukuman moral dan kutukan. "Masyarakat sini masih percaya, orang yang berani mengambil ikan di lubuk larangan akan sakit, dan bisa mati jika tidak diobati dukun yang telah menjaga lubuk larangan.

Secara tak langsung, pengelola lubuk larangan juga mengandung nilai-nilai konservasi, bisa menjaga kualitas air sungai karena warga desa akan menjaga sungai tidak tercemar agar panen ikan bisa melimpah. Sistem lubuk larangan adalah satu bukti sistem tradisional yang mampu menjaga alam secara lestari. 


c. Suro & Masjid

Suro dan tobat di Manambin

Huta selalu dilengkapi dengan sarana peribadatan berupa bangunan masjid yang dapat dipakai untuk shalat Jumat berjamaah. Bangunan masjid biasanya ditempatkan dilokasi yang mudah dicapai oleh penduduk, dan dilengkapi dengan sumber air. Selain dari mesjid terdapat pula tempat sembahyang yang disebut suro. Kebiasaannya, suro banyak dibangunkan oleh penduduk ditempat-tempat berdekatan dengan tepian mandi di sungai.




Peninggalan - Peninggalan Sejarah


Peninggalan - Peninggalan Sejarah



1. Makam

di daerah Panyabungan banyak terdapat kuburan-kuburan lama dari jaman pra-Islam.

Sebahagian dari kuburan-kuburan tersebut telah hancur akibat ulah penggali-penggali liar yang membongkar kuburan-kuburan ini guna mengambil harta benda yang terdapat di kuburan ini, antara lain piring-piring keramik besar asal Cina serta perhiasan-perhiasan dari tembaga. 

Desa Huta Siantar, hanya beberapa kilometer jaraknya dari Panyabungan. Di desa Huta Siantar ini terdapat berbagai kuburan-kuburan lama yang dibuat dari batu bata dan kemungkinan berasal dari awal jaman masuknya agama Islam.

Sebuah batu bulat besar dengan diameter 84 cm, Setengahnya tertanam dan penuh dengan lumut. Batu tersebut sesudah dibersihkan dari lumutnya. tampak sebuah ornamen geometris berbentuk bintang sepuluh. Dengan bantuan penduduk setempat kami membalikkan batu ini dan sesudah bagian yang sebelumnya tertanam dibersihkan, tampak selain ornamen-ornamen berbunga juga sebuah inskripsi beraksara Arab.

Sesudah dibersihkan lagi, sebagian dari inskripsi dapat dibaca, antara lain "berpulang ke ....(tak terbaca) Sutan .... nabi kita Muhammad...."


dan sebuah angka yang tidak jelas lagi, kemungkinan 265. Rupanya batu ini adalah sebuah batu nisan dan kemungkinan angka ini merupakan angka tahun wafatnya Sutan tersebut.

Pemakaman Raja Huta Godang Mandeling Julu

setiap Huta mempunyai sebidang tanah perkuburan. Kebiasaannya letaknya di luar Huta, tampi masih mudah didatangi. Selain daripada tanah perkuburan, di sekitar Huta biasanya terdapat pula tanah perkuburan makam-makam leluhur yang mula-mula membuka Huta tertentu. Pada masa lampau, walaupun tidak dengan cara-cara yang khusus dan istimewa, tempat makam leluhur dihormati oleh penduduk Huta. Meskipun tidak merupakan suatu tradisi yang mengikut, tetapi kalau Raja atau anggota keluarga Raja meninggal dunia, mereka dikebumikan di pemakaman leluhur.


Pemkaman Lobu
Di tanah-tanah perkuburan kuno yang dipanggil lobu atau huta lobu banyak terdapat patung batu. Dalam bahasa Mandailing, patung ini disebut batu tagor, yang menurut kepercayaan, dapat memberi tanda (isyarat) dengan suara gemuruh apabila akan terjadi sesuatu hal kepada keluarga raja. Selain batu tagor terdapat patung yang dinamakan batu pangulu balang yang biasanya terdapat di sudut desa, yang menurut kepercayaan, menjaga desa dan akan memberi pertanda apabila ada sesuatu yang akan menganggu penduduk. Patung-patung batu tagor dan batu panghulu balang, yang diakui oleh orang-orang Mandailing sebagai warisan nenek moyang mereka kelihatannya sama sekali berbeda dari patung-patung peninggalan zaman Hindu dan Buddha.

 Pemakaman Raja Junjungan Lubis sayurnainchat Mandeling Julu

Tempat yang bernama Padang Mardia, terletak lebih kurang 2 km dari pasar Panyabungan sekarang, dahulunya terdapat banyak patung-patung batu dan kuburan kuno. Patung batu yang dahulunya banyak terdapat di tempat tersebut lama-kelamaan menjadi punah kerana dirusakkan oleh penduduk sekitarnya yang anti "berhala". Kini yang masih tersisa hanya beberapa kuburan kuno dan pecahan-pecahan patung



2. Sangkalon Simbol Keadilan

Sangkalon adalah lambang keadilam dalam masyarakat Mandailing. Patung ini juga dipanggil si pangan anak si pangan boru (si pemakan anak lelaki, si pemakan anak perempuan), yang melambangkannya suatu sikap atau nilai budaya bahwa demi tegaknya keadilan anak kandung sendiri harus dibunuh kalau ternyata melakukan kesalahan yang menuntut hukuman itu. Dengan perkataan lain, keadilan tidak pilih kasih.

Caption: Patung batu Sangkalon di Bagas Godang
Credit: Abdur-Razzaq Lubis

         












                    Caption: Patung kayu Sangkalon di Sopo Godang                      
                                                                 Credit: Abdur-Razzaq Lubis    


    
3.  Pustaha Mandailing

Meskipun bangsa Mandailing mempunyai aksara yang dinamakan urup tulak-tulak dan dipergunakan untuk menulis kitab-kitab kuno yang disebut pustaha, namun amat sulit menemukan catatan sejarah mengenai Mandailing sebelum abad ke 19. Umumnya pustaha-pustaha ini berisi catatan pengobatan tradisional, ilmu-ilmu ghaib, ramalan2 tentang waktu yang baik dan buruk serta ramalan mimpi dan bukan tentang sejarah.

Urup Tulak-tulak

 














Nb: Dan masih banyak lagi peninggalan sejarah dari suku batak mandeling.





Kain Khas Suku Batak


  Kain Ulos

3 dasar warna dari kain ulos, yaitu merah, hitam dan putih. Tingkat kesulitan pembuatan kain ulos pun berbeda-beda.Beberapa jenis ulos di antaranya sibolang, ragihotang, mangiring, sadum, Harungguan dan lain-lain. Harga kain ulos berkisar dari puluhan ribu hingga jutaan rupiah. Hal tersebut tergantung dari jenis, motif dan bahannya.

1. Ulos Ragi Hotang

Menurut kepercayaan suku Batak, terdapat 3 sumber kehangatan yaitu matahari, api, dan kain ulos. Suku Batak kebanyakan tinggal di bukit yang dingin, selain matahari, ulos juga menjadi sumber kehangatan bagi mereka. Kain ulos memiliki peranan penting di kehidupan Masyarakat Batak. Selain dipakai dalam kegiatan sehari-hari, kain ulos juga digunakan dalam acara-acara besar seperti pernikahan, kelahiran dan upacara kematian.
 
2. Ulos Sibolang
 Kain ulos memiliki keistimewaan tersendiri di masyarakat batak. Tidak heran, pada zaman dulu, biasanya kain ulos yang dipakai oleh keluarga kerajaan Batak adalah emas dan perak. Selain itu, jika ada beberapa perayaan acara besar yang tidak menggunakan ulos, maka tidaklah sah acara tersebut.
3. Ulos Harungguan


Ada banyak juga ajaran suku Batak dalam menggunakan kain ulos. Salah satunya, kain ulos tidak boleh diberikan dari yang rendah kedudukannya kepada yang lebih tinggi. Misalnya, dari anak kepada bapaknya. Masih banyak lagi ajaran dari suku Batak dan sejarahnya mengenai kain ulos.



4. Ulos Sadum                                                                                                                                                    Seorang nenek tua sedang menenun kain ulos









Sabe-Sabe selendang istiadat dipakai Batak Mandeling untuk upacara adat dan untuk tarian adat yang disebut Tor-Tor.












Batak Mandeling

 Batak Mandeling


Batak Mandeling merupakan salah satu suku di indonesia yang terletak di provinsi sumatera utara kabupaten Mandeling Natal.

1. Sejarah Mandeling

Kitab Nagarakretagama yang mencatat perluasan wilayah Majapahit sekitar 1365 M, menyebut nama Mandailing. Munculnya nama Mandailing pada suku akhir abad ke 14 menunjukkan adanya satu bangsa dan wilayah bernama Mandailing  yang  telah muncul sebelum abad itu..

Dengan demikian "tidak disangsikan lagi bahwa bersandar ungkapan dalam itu yang dapat diperkirakan sesuai dengan perkembangan sejarah, di Mandailing sudah berkembang suatu masyarakat yang homogen. Dan sebagai wilayah lain di Sumatra yang diungkapkan oleh Prapanca (dalam Nagarakretagama) seperti Minangkabau, Siak, Panai, Aru dan lain-lain, demikian Mandailing bahwa masyarakatnya yang tumbuh itu, entah luas, besar ataupun kecil, terphimpun dalam suatu ketatanegaraan kerajaan".

Setelah nama Mandailing dicatat dalam kitab Nagarakretagama di abad ke 14, kemudian beberapa abad berikutnya tak ada lagi nama Mandailing disebut. Selama lebih lima abad lamanya Mandailing seakan-akan hilang sejarahnya. Baru pada abad ke 19 ketika Belanda mulai menguasai Mandailing, baru berbagai tulisan mengenainya dan masyarakatnya dibuat oleh beberapa pejabat kolonial.


2. Na Itam Na Robi

Zaman sebelum masuknya Islam ke Mandailing, orang Mandailing menyebut zaman itu na itom na robi, artinya, zaman purba yang hitam atau gelap, yakni jahiliah. Sebelum Islam, masyarakat Mandailing adalah masyarakat si pele begu, yakni masyarakat yang memuja roh leluhur mereka.

Sampai sekitar awal abad ke-20, sisa-sisa dari agama kuno itu masih tampak bekasnya dalam kehidupan masyarakat Mandailing. meskipun agama Islam telah merata menjadi panutan orang Mandailing. Di beberapa tempat misalnya masih dilakukan orang upacara pemanggilan roh yang disebut pasusur begu atau marsibaso yang sangat dikutuk oleh ulama.

Amalan si pele begu melibatkan upacara meminta pertolongan roh leluhur buat mengatasi misalnya bencana alam seperti musim kemarau panjang yang merusak tanaman padi penduduk. Orang-orang yang pernah menyaksikan upacara itu sulit membantah lantaran turunnya hujan lebat di tengah kemarau panjang setelah selesainya upacara ritual itu dilakukan.

Namun iman orang-orang Mandailing sebagai pemeluk agama Islam menganggap perbuatan itu, dosa yang mesti dihindari, mendorong masyarakat Mandailing membuang sama sekali sisa-sisa warisan si pele begu. Alim ulama masyarakat Mandailing telah menapis/menyaring amalan dan perubatan dari zaman na itom na robi dan mengekalkan amalan dan perbuatan yang tidak bertentangan dengan Islam

3.  Perang Padri (1816-1833)


Masa masuknya Islam sebelum serbuan Kaum Paderi, disebut oleh orang Mandailing maso silom na itom (masa Islam yang hitam). Pada masa itu agama Islam dianut orang Mandailing bercampur aduk dengan pele begu (agama tradisi). Berapa lama keadaan itu berlangsung tidak diketahui dengan pasti.Perubahan besar berlaku dengan serbuan Kaum Paderi dari Minangkabau ke Mandailing sekitar 1820 dan membawa apa yang dijolok oleh orang Mandailing sebagai silom Bonjol (Islam Bonjol), yakni "satu mazhab Islam yang mencita-citakan kemurnian".

Dengan serbuan Kaum Paderi itu maka bergantilah maso silom na lom-lom (Islam hitam) dengan apa yang disebut orang Mandailing maso silom na bontar (masa Islam putih) atau maso silom Bonjol (masa Islam Bonjol). Hitam barangkali merujuk kepada warna biru nila (gelap) pakaian penentang-penentang Paderi.




Tombak and lembing dari zaman Paderi



Orang Mandailing menyebutnya demikian kerana Kaum Paderi menyerbu Mandailing dari Bonjol, dan Kaum Paderi yang mengembangkan agama Islam di masa itu umumnya berpakaian warna putih. Masa penyerbuan Paderi itu terkadang disebut orang Mandailing maso di na rinca (di zaman Tuanku Nan Renceh), seorang Imam Paderi.

Pecahnya Perang Paderi dan disusuli kemasukan Belanda mencetuskan perantauan orang-orang Mandailing ke Semenanjung Malaysia di abad ke-19. Gerombolan Mandailing ini terlibat dalam Perang Rawa 1848, Perang Pahang (Perang Orang Kemaman), 1857-1863, Perang Selangor (Porang Kolang), 1867-1873 dan Perang Perak, 1875-1876.


4.  Na Mora Na Toras

Sebelum masa Pendudukan Jepang di Indonesia, atau pada masa pra-kemerdekaan, dalam masyarakat Mandailing yang mendiami satu kawasan tertentu, terdapat tokoh-tokoh pemimpin tradisional yang lazim disebut Na Mora Na Toras. Mereka merupakan pemimpin dalam bidang pemerintahan dan adat.
Secara harfiah perkataan Na Mora Na Toras berarti Yang Dimuliakan (dan) Yang Dituakan. Pengertian demikian menunjukkan bahwa mereka yang berkedudukan sebagai Na Mora Na Toras (semuanya lelaki), merupakan tokoh-tokoh yang dimuliakan dan dituakan dalam masyarakat Mandailing.

Orang-orang atau tokoh pemimpin yang disebut sebagai Na Mora adalah kaum bangsawan dari golongan marga tanah. Mereka terdiri daripada raja-raja dan kerabat dekatnya yang satu keturunan atau satu marga. Di Mandailing Julu yang digolongkan sebagai Na Mora ialah raja-raja bermarga Lubis dan kerabat terdekat mereka. Sedangkan di kawasan Mandailing Godang yang digolongkan sebagai Na Mora ialah raja-raja bermarga Nasution dan kerabat dekat mereka.

Tokoh-tokoh pemimpin yang disebut sebagai Na Toras bukan merupakan golongan bangsawan, sebab mereka tidak berasal dari marga tanah. Namun para Na Toras mempunyai kedudukan yang terhormat dalam masyarakat Mandailing sebab mereka mengemban sebagai pemegang atau penguasa adat dalam sesuatu kerajaan. Artinya, untuk memutuskan apakah sesuatu upacara adat dapat dilakukan atau tidak, misalnya dalam perkahwinan, harus mendapat persetujuan Goruk-Goruk Apinis dan kemudian disetujui oleh Na Mora Na Toras dan baru disahkan oleh Raja Panusunan Bulung.

Pada hakikatnya sebutan Na Mora Na Toras mendukung dua macam pengertian sekaligus. Pengertiannya yang pertama ialah tokoh-tokoh pemimpin tradisional itu sendiri sebagai pribadi. Pengertiannya yang kedua ialah lembaga kepimpinan yang mereka dukung bersama.

Tokoh-tokoh pemimpin tradisional dan lembaga kepemimpinan sama-sama disebut sebagai Na Mora Na Toras terdapat pada setiap kerajaan kecil yang dinamakan banua atau huta. Sebagai kerajaan, masing-masing banua atau huta mempunyai wilayah sendiri yang jelas batas-batasnya dan ditempati sejumlah penduduk serta mempunyai pemerintahan sendiri.

Tindak-tanduk mereka ditata oleh aturan yang tersirat atau tersurat, sebab dalam menjalankan tugas tokoh-tokoh pemimpin tersebut hanya dapat bertindak sesuai dengan aturan adat  dan mereka menggunakan perlengkapan dan lambang-lambang. Misalnya sidang peradilan adat dilakukan di Sopo Godang (balai sidang) dan dihadirkan lambang keadilan berupa patung kayu, Sangkalon Sipangan Anak Sipangan Boru, dan dilengkapkan dengan burangir (sirih adat).

Kompleks SopoGodang dan Bagas Godang

Tapi apabila penguasa militer Jepang menghapuskan kerajaan-kerajaan kecil di Mandailing di tahun 1942 dan disusuli masa kemerdekaan beberapa tahun kemudian, para raja dan pemimpin tradisional sekaligus lembaga kepemimpinan Na Mora Na Toras hilang kekuasaan mereka dalam menjalankan pemerintahan dalam masyarakat Mandailing. Namun dalam pengaturan dan pengawasan adat, mereka masih berfungsi sampai sekarang meskipun kekuasaan mereka tidak sebesar dulu.


Gambar: suasana kampung mendeling pada tahun 1910