Senin, 12 Maret 2012

Lubuk Larangan dan Mata Air Kehidupan Warga Mandailing


Lubuk Larangan 
dan 
Mata Air Kehidupan Warga Mandailing


Orang yang bermarga Lubis, tentu mengenal betul hikayat Namora Pande Bosi yang menasihatkan anaknya Silangkitang dan Sibaitang, ketika mereka harus meninggalkan kampung Hatongga, agar menyusuri Sungai Batang Gadis untuk membuka tempat pemukiman baru. Sebab itulah, kebanyakan perkampungan warga Mandailing hingga sekarang selalu didirikan berdekatan dengan sumber-sumber air.

Ada beberapa istilah yang diberikan pada sumber air di kawasan Mandailing: sungai disebut batang, anak sungai, aek, atau ranting sungai rura dan mata air yang disebut mual. Nama-nama sungai atau muaranya bahkan banyak dijadikan sebagai acuan nama pemukiman orang-orang Mandailing.

Pada masyarakat Mandailing, eksistensi air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar pemukiman mereka berperan multi-fungsi, sebagai air minum dan mandi cuci kakus (MCK), mengairi lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya (misalnya dalam ritus patuaekkon boru), relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan juga ekonomi (mencari emas/manggore, ikan, bahan bangunan berupa pasir, kerikil dan juga batu). Dengan kata lain, bagi orang Mandailing air merupakan "mata air kehidupan" yang sekaligus bertali-temali dengan institusi sosial, budaya, ekonomi dan ekologis.

a. Lubuk Larangan

Oleh karena banyak sekali kepentingan orang Mandailing terhadap sumber daya air, maka tidak heran, sejak tahun 1980-an bermunculan gagasan di 70 desa Kabupaten Mandailing Natal untuk menyelenggarakan sistem pengelolaan sungai dengan model lubuk larangan (river protected area).
Memang mayoritas desa di Mandailing berdekatan dengan aliran sungai. Keberadaan desa tersebut dapat ditelusuri mulai dari Kecamatan Muara Sipongi -- hulu Sungai Batang Gadis ke arah hilir Kecamatan Kotanopan hingga ke Kecamatan Penyambungan. Selain itu terdapat juga desa di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai yang ada di Kec. Batang Natal, serta sepanjang sungai Batang Selai sampai Danau Rinaete di Tapanuli Selatan.

Pada sebagian aliran sungai yang melintasi wilayah suatu desa-desa itulah, penduduk desa bersepakat untuk menetapkan sebuah wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu (berkisar 6-12 bulan). Kawasan terlarang itu disebut 'lubuk larangan'. Hasil pengelolaan lubuk larangan tersebut akan digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa. Jadi konsep "larangan" yang ada dalam khasanah budaya Mandailing dan Angkola telah ditransformasikan ke dalam bentuk baru yang lebih rasional oleh komunitas-komunitas desa di sepanjang aliran sungai-sungai Batang Gadis, Batang Natal dan Batang Selai.

Paling tidak ada dua hal yang istimewa dari munculnya fenomena pengelolaan sungai dengan sistem lubuk larangan tersebut. Pertama, kemampuan komunitas setempat di kawasan Mandailing melakukan perubahan radikal dalam konsepsi penguasaan sumberdaya alam (sungai), dari yang semula dipahami sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas oleh siapapun menjadi sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned resources). Dengan perubahan konsepsi tersebut, maka kecenderungan eksploitasi berlebihan terhadap sumberdaya alam menjadi terkurangi, sehingga gejala "tragedi milik bersama" (tragedy of the common) dalam pengelolaan sumberdaya yang bersifat akses terbuka tidak terjadi, khususnya dalam konteks pengelolaan sumberdaya yang ada di sungai.

Kedua, komunitas-komunitas desa pengelola lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal mampu menanam dan mengembangkan investasi modal sosial (social capital) di antara mereka dalam pengelolaan sumberdaya "milik bersama". Komunitas desa pengelola lubuk larangan di Mandailing, sampai batas-batas tertentu mampu menyiasati kondisi yang tidak sehat itu, yang terlihat dari tetap kukuhnya mereka membangun sistem pengelolaan lubuk larangan yang relatif terbebas dari "campur tangan penguasa".

Hasilnya cukup mengagetkan: ketika setiap tahun pemerintah menyalurkan dana Bangdes ke desa-desa melalui jalur formal, kita sudah banyak mengetahui apa hasil pembangunan yang bisa dicapai di desa-desa itu; tetapi pengelolaan lubuk larangan yang dibangun dengan mengandalkan modal sosial (bukan modal material/finansial), mampu menghasilkan banyak hal di desa, misalnya mendirikan gedung madrasah (seperti di Desa Hutarimbaru dan desa Singengu, Kec.Kotanopan), masjid (di banyak desa di Kec. Muara Sipongi, Kotanopan dan Batang Natal), menggaji guru SD Negeri (di Batang Natal), menyantuni anak yatim dan fakir miskin ( di banyak desa Kec. Batang Natal), membangun titi/rambin dan jalan desa (di desa Koto Baringin, Kec. Muara Sipongi, desa Husor Tolang, Kotanopan ), dan banyak lagi contoh lainnya.

Ketika dana Bangdes dan dana-dana pembangunan lainnya masuk ke desa, yang sering terjadi adalah sikut-sikutan antar elit desa (bahkan konflik terbuka), dalam sistem pengelolaan dan pemanfaatan hasil lubuk larangan hal itu tidak ditemukan. Erwin A Perbatakusuma, Policy Analist, Northern Conservation Corridor Project


Atas : papan nama yang menunjukkan peraturan menganai Lubuk Larangan kepada warga sekitar


b. Lubuk Larangan  Modal Sosial Masyarakat Mandailing

 Keterangan Gambar bawah : Sungai Batang Gadis yang mengaliri kawasan Mandailing Natal

Bagi masyarakat Mandailing di Sumatera Utara, sungai adalah berkah alam sebagai modal untuk kepentingan sosial. Hal itu pulalah yang mendorong warga berlomba-lomba membuat lubuk larangan, hingga kini.

Setelah melalui kesepakatan bersama, sebagian aliran sungai yang melintasi di desa kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu tertentu. Biasanya 6-12 bulan. Setelah panen, panitia kemudian membuka lubuk larangan untuk umum dan hasil pengelolaannya digunakan untuk berbagai keperluan pembangunan desa, menyantuni anak-anak yatim, dan mendanai berbagai kegiatan sosial yang lain.

Sistem pengelolaan lubuk larangan ini bisa kita temui di desa-desa yang dilalui aliran Sungai Batang Gadis, mulai dari bagian hulu di kawasan Pakantan, ke arah hilir hingga ke daerah Panyabungan; dan juga di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai di Kecamatan Batang Natal. Bahkan, sistem ini kini telah berkembang luas di seluruh Mandailing Natal, dan sebagian Tapanuli Selatan.
lubuk larangan harus dimulai dengan musyawarah desa untuk menentukan batas-batas lubuk larangan. Tanpa kesepakatan bersama, lubuk larangan tidak bisa dibuat. Kemudian warga iuran sebagai modal mendatangkan "orang pintar" (dukun) dan untuk membeli bibit ikan.

Setelah sang dukun membaca doa-doa, kemudian diumumkan kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa sungai itu telah menjadi lubuk larangan. "Biasanya tak ada yang berani menangkap ikan di lubuk larangan,"

Bagi yang melanggar akan didenda Rp 500.000 per orang. Sanksi lain yang lebih ditakuti warga yaitu hukuman moral dan kutukan. "Masyarakat sini masih percaya, orang yang berani mengambil ikan di lubuk larangan akan sakit, dan bisa mati jika tidak diobati dukun yang telah menjaga lubuk larangan.

Secara tak langsung, pengelola lubuk larangan juga mengandung nilai-nilai konservasi, bisa menjaga kualitas air sungai karena warga desa akan menjaga sungai tidak tercemar agar panen ikan bisa melimpah. Sistem lubuk larangan adalah satu bukti sistem tradisional yang mampu menjaga alam secara lestari. 


c. Suro & Masjid

Suro dan tobat di Manambin

Huta selalu dilengkapi dengan sarana peribadatan berupa bangunan masjid yang dapat dipakai untuk shalat Jumat berjamaah. Bangunan masjid biasanya ditempatkan dilokasi yang mudah dicapai oleh penduduk, dan dilengkapi dengan sumber air. Selain dari mesjid terdapat pula tempat sembahyang yang disebut suro. Kebiasaannya, suro banyak dibangunkan oleh penduduk ditempat-tempat berdekatan dengan tepian mandi di sungai.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar