Lubuk Larangan
dan
Mata Air Kehidupan Warga Mandailing
Orang yang bermarga Lubis, tentu
mengenal betul hikayat Namora Pande Bosi yang menasihatkan anaknya Silangkitang
dan Sibaitang, ketika mereka harus meninggalkan kampung Hatongga, agar
menyusuri Sungai Batang Gadis untuk membuka tempat pemukiman baru. Sebab
itulah, kebanyakan perkampungan warga Mandailing hingga sekarang selalu
didirikan berdekatan dengan sumber-sumber air.
Ada beberapa istilah yang diberikan pada
sumber air di kawasan Mandailing: sungai disebut batang, anak sungai, aek, atau
ranting sungai rura dan mata air yang disebut mual. Nama-nama sungai atau
muaranya bahkan banyak dijadikan sebagai acuan nama pemukiman orang-orang
Mandailing.
Pada masyarakat Mandailing,
eksistensi air sungai maupun anak sungai yang ada di sekitar pemukiman mereka
berperan multi-fungsi, sebagai air minum dan mandi cuci kakus (MCK), mengairi
lahan pertanian, mendukung fungsi sosial budaya (misalnya dalam ritus patuaekkon
boru), relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan juga ekonomi (mencari
emas/manggore, ikan, bahan bangunan berupa pasir, kerikil dan juga batu).
Dengan kata lain, bagi orang Mandailing air merupakan "mata air
kehidupan" yang sekaligus bertali-temali dengan institusi sosial, budaya,
ekonomi dan ekologis.
a. Lubuk Larangan
Oleh karena banyak sekali
kepentingan orang Mandailing terhadap sumber daya air, maka tidak heran, sejak
tahun 1980-an bermunculan gagasan di 70 desa Kabupaten Mandailing Natal untuk
menyelenggarakan sistem pengelolaan sungai dengan model lubuk larangan (river
protected area).
Memang mayoritas desa di
Mandailing berdekatan dengan aliran sungai. Keberadaan desa tersebut dapat
ditelusuri mulai dari Kecamatan Muara Sipongi -- hulu Sungai Batang Gadis ke
arah hilir Kecamatan Kotanopan hingga ke Kecamatan Penyambungan. Selain itu
terdapat juga desa di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai
yang ada di Kec. Batang Natal, serta sepanjang sungai Batang Selai sampai Danau
Rinaete di Tapanuli Selatan.
Pada sebagian aliran sungai yang
melintasi wilayah suatu desa-desa itulah, penduduk desa bersepakat untuk
menetapkan sebuah wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama
jangka waktu tertentu (berkisar 6-12 bulan). Kawasan terlarang itu disebut
'lubuk larangan'. Hasil pengelolaan lubuk larangan tersebut akan digunakan
untuk berbagai keperluan pembangunan desa. Jadi konsep "larangan"
yang ada dalam khasanah budaya Mandailing dan Angkola telah ditransformasikan
ke dalam bentuk baru yang lebih rasional oleh komunitas-komunitas desa di
sepanjang aliran sungai-sungai Batang Gadis, Batang Natal dan Batang Selai.
Paling tidak ada dua hal yang
istimewa dari munculnya fenomena pengelolaan sungai dengan sistem lubuk
larangan tersebut. Pertama, kemampuan komunitas setempat di kawasan Mandailing
melakukan perubahan radikal dalam konsepsi penguasaan sumberdaya alam (sungai),
dari yang semula dipahami sebagai sumberdaya yang bisa diakses secara bebas
oleh siapapun menjadi sumberdaya yang dimiliki secara komunal (communally owned
resources). Dengan perubahan konsepsi tersebut, maka kecenderungan eksploitasi
berlebihan terhadap sumberdaya alam menjadi terkurangi, sehingga gejala
"tragedi milik bersama" (tragedy of the common) dalam pengelolaan
sumberdaya yang bersifat akses terbuka tidak terjadi, khususnya dalam konteks
pengelolaan sumberdaya yang ada di sungai.
Kedua, komunitas-komunitas desa
pengelola lubuk larangan di Kabupaten Mandailing Natal mampu menanam dan
mengembangkan investasi modal sosial (social capital) di antara mereka dalam
pengelolaan sumberdaya "milik bersama". Komunitas desa pengelola
lubuk larangan di Mandailing, sampai batas-batas tertentu mampu menyiasati
kondisi yang tidak sehat itu, yang terlihat dari tetap kukuhnya mereka
membangun sistem pengelolaan lubuk larangan yang relatif terbebas dari
"campur tangan penguasa".
Hasilnya cukup mengagetkan:
ketika setiap tahun pemerintah menyalurkan dana Bangdes ke desa-desa melalui
jalur formal, kita sudah banyak mengetahui apa hasil pembangunan yang bisa
dicapai di desa-desa itu; tetapi pengelolaan lubuk larangan yang dibangun
dengan mengandalkan modal sosial (bukan modal material/finansial), mampu
menghasilkan banyak hal di desa, misalnya mendirikan gedung madrasah (seperti
di Desa Hutarimbaru dan desa Singengu, Kec.Kotanopan), masjid (di banyak desa
di Kec. Muara Sipongi, Kotanopan dan Batang Natal), menggaji guru SD Negeri (di
Batang Natal),
menyantuni anak yatim dan fakir miskin ( di banyak desa Kec. Batang Natal),
membangun titi/rambin dan jalan desa (di desa Koto Baringin, Kec. Muara
Sipongi, desa Husor Tolang, Kotanopan ), dan banyak lagi contoh lainnya.
Ketika dana Bangdes dan dana-dana
pembangunan lainnya masuk ke desa, yang sering terjadi adalah sikut-sikutan
antar elit desa (bahkan konflik terbuka), dalam sistem pengelolaan dan
pemanfaatan hasil lubuk larangan hal itu tidak ditemukan. Erwin A
Perbatakusuma, Policy Analist, Northern Conservation Corridor Project
Atas : papan nama yang
menunjukkan peraturan menganai Lubuk Larangan kepada warga sekitar
b. Lubuk Larangan Modal Sosial
Masyarakat Mandailing
Keterangan Gambar bawah : Sungai
Batang Gadis yang mengaliri kawasan Mandailing Natal
Bagi masyarakat Mandailing di
Sumatera Utara, sungai adalah berkah alam sebagai modal untuk kepentingan
sosial. Hal itu pulalah yang mendorong warga berlomba-lomba membuat lubuk
larangan, hingga kini.
Setelah melalui kesepakatan
bersama, sebagian aliran sungai yang melintasi di desa kemudian ditetapkan
sebagai wilayah yang terlarang untuk diambil hasil ikannya selama jangka waktu
tertentu. Biasanya 6-12 bulan. Setelah panen, panitia kemudian membuka lubuk
larangan untuk umum dan hasil pengelolaannya digunakan untuk berbagai keperluan
pembangunan desa, menyantuni anak-anak yatim, dan mendanai berbagai kegiatan
sosial yang lain.
Sistem pengelolaan lubuk larangan
ini bisa kita temui di desa-desa yang dilalui aliran Sungai Batang Gadis, mulai
dari bagian hulu di kawasan Pakantan, ke arah hilir hingga ke daerah
Panyabungan; dan juga di sepanjang Sungai Batang Natal dan beberapa anak sungai
di Kecamatan Batang Natal. Bahkan, sistem ini kini telah berkembang luas di
seluruh Mandailing Natal, dan sebagian Tapanuli Selatan.
lubuk larangan harus
dimulai dengan musyawarah desa untuk menentukan batas-batas lubuk larangan.
Tanpa kesepakatan bersama, lubuk larangan tidak bisa dibuat. Kemudian warga
iuran sebagai modal mendatangkan "orang pintar" (dukun) dan untuk
membeli bibit ikan.
Setelah sang dukun membaca
doa-doa, kemudian diumumkan kepada masyarakat desa dan desa-desa tetangga bahwa
sungai itu telah menjadi lubuk larangan. "Biasanya tak ada yang berani
menangkap ikan di lubuk larangan,"
Bagi yang melanggar akan didenda
Rp 500.000 per orang. Sanksi lain yang lebih ditakuti warga yaitu hukuman moral
dan kutukan. "Masyarakat sini masih percaya, orang yang berani mengambil
ikan di lubuk larangan akan sakit, dan bisa mati jika tidak diobati dukun yang
telah menjaga lubuk larangan.
Secara tak langsung, pengelola
lubuk larangan juga mengandung nilai-nilai konservasi, bisa menjaga kualitas
air sungai karena warga desa akan menjaga sungai tidak tercemar agar panen ikan
bisa melimpah. Sistem lubuk larangan adalah satu bukti sistem tradisional yang
mampu menjaga alam secara lestari.
c. Suro & Masjid
Suro dan tobat di Manambin
Huta selalu dilengkapi dengan
sarana peribadatan berupa bangunan masjid yang dapat dipakai untuk shalat Jumat
berjamaah. Bangunan masjid biasanya ditempatkan dilokasi yang mudah dicapai oleh
penduduk, dan dilengkapi dengan sumber air. Selain dari mesjid terdapat pula
tempat sembahyang yang disebut suro. Kebiasaannya, suro banyak dibangunkan oleh
penduduk ditempat-tempat berdekatan dengan tepian mandi di sungai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar